Disiplin Tim Nasional Penuh Masalah

Antara/Yudhi Mahatma

Manusia Indonesia dikenal lemah soal disiplin. Contoh mudah terlihat dari tingginya pelanggaran lalu-lintas di Indonesia. Tapi hal itu bukan salah mutlak para pelanggar, tetapi juga buruknya penerapan aturan dan sistem pengawasan.

Itu sebabnya, pelanggaran disiplin juga sering terjadi di tim sepak bola Indonesia — termasuk timnas. Yang masih hangat, kasus penganiayaan yang diduga dilakukan pemain belakang Diego Michiels. Ironisnya, Diego yang ditengarai melanggar jam malam hanya dihukum ringan berupa denda uang saku harian sebesar Rp500 ribu. Bahkan pemain blasteran tersebut dilindungi oleh PSSI dari jeratan hukum.

Ini bukan kali pertama Diego berulah. Agustus silam, dia kabur dari pusat pelatihan dan memilih memperkuat Arema IPL. Secara teknik boleh jadi dia bagus, tapi tidak secara sikap. Lemahnya disiplin pemain diperparah dengan buruknya pendirian PSSI dan manajemen timnas.

Diego salah satu potret pemain yang tak punya kesadaran sebagai sosok profesional. Problem ini makin lengkap oleh sikap staf tim yang tak membangun. Menanggapi kasus Diego, manajer tim Habil Marati (baru) akan mengetatkan pengawasan dan jam malam kepada seluruh pemain. Mengapa ini tidak dilakukan sejak awal pelatihan? Atau mengapa Diego masih dipanggil ke timnas?

Menjadi menarik bila menyimak pernyataan pemain senior Bambang Pamungkas terkait disiplin tim beberapa tahun silam. Menurut pengalamannya, masa kepelatihan Ivan Kolev di timnas sekitar Piala Asia 2007 adalah yang paling ketat.

"Kolev bersama asisten pelatih Syamsuddin Umar rajin mengontrol tiap kamar para pemain pada malam hari. Pengawasan disiplinnya sangat ketat," ungkap Bambang ketika itu.

Kuncinya memang hanya pengawasan. Setiap orang, termasuk pemain sepak bola, selalu punya kecenderungan melanggar aturan. Jadi ketika ada kasus pelanggaran disiplin, cara kerja manajemen staf tim patut dipertanyakan.

Jika mau, Indonesia bisa belajar pada Meksiko. Hanya hitungan hari sebelum berlaga di Piala Amerika (Copa America) 2011, manajemen tim nasional Meksiko berani mencoret delapan pemain yang diduga memasukkan sejumlah wanita ke kamar tempat mereka menginap.

Ketegasan sikap seperti Meksiko itulah yang nyaris tak pernah dilakukan oleh Indonesia. Mungkin karena budaya permisif, sejumlah pembangkangan hanya mendapat sanksi ringan — bahkan pemakluman. Padahal lemahnya pengawasan dan sanksi justru hanya akan melahirkan preseden buruk. Apalagi bila dilengkapi dengan jeleknya manajemen waktu yang diterapkan kepada tim.

Di masa depan, bukan tidak mungkin muncul Diego-Diego yang lain.

Lihatlah betapa seringnya tim Indonesia berlatih dengan formasi tidak lengkap karena 1-2 pemain terlambat tiba di tahap awal. Tanpa sanksi tegas, hal seperti ini akan rutin terulang dan dianggap enteng oleh para pemain. Kasus Diego hanya puncak gunung es.

Pada 2004, ada kasus indisipliner yang luput dari perhatian publik. Waktu itu, timnas Indonesia berpeluang lolos ke perempat final Piala Asia. Mereka hanya membutuhkan hasil imbang melawan tuan rumah Cina di partai pamungkas penyisihan Grup A. Namun semalam sebelum pertandingan, rombongan wartawan Indonesia bertemu dengan sekelompok kecil pemain Indonesia di sebuah tempat hiburan di Beijing.

Agak aneh melihat para pemain Indonesia berkeliaran di malam hari. Apalagi sehari sebelum menjalani partai krusial. Kepada wartawan yang memergoki, seorang pemain dari kelompok kecil tersebut meminta agar hal ini tidak dibocorkan kepada manajemen tim. Keesokan harinya, terlepas dari faktor teknik, Indonesia dibantai Cina 0-5 dan gagal melaju ke perempat final.

Bila persoalan disiplin di luar lapangan tidak tertangani dengan baik maka hal yang sama dapat terjadi dengan mudah di dalam lapangan. Dan akan sangat berisiko bila terjadi dalam sebuah pertandingan — yang sanksinya begitu tegas. Semoga yang ini tidak terjadi.

*Penulis adalah pecinta sepak bola. Biasa beredar di duna maya dengan akun Twitter @hedi

Comments

Popular posts from this blog

alamat social network